Aku tertegun memandangimu yang
melangkah pergi meninggalkanku sendiri di pinggir rel kereta api dan di depan
gerbong kereta yang siap kau masuki dan membawamu pergi dari pekatnya kota
Medan yang tiap saat selalu membumbung asap perih kehidupan berkisah tentang
anak jalanan yang terlantar sulit mencari makan.
Tentang kita yang terkadang
harus merintih perih menahan luka batin yang tersemat tak bisa memudar begitu
mudah, setelah kepergianmu malah akan semakin parah ketika aku harus hidup
menahan kerinduan dan menelan segala penantian kepadamu.
‘’Hati-hati Mak, jaga kesehatan
Mamak disana dan selalulah berbagi kabar ke Medan.’’
‘’Iya Nak, kamu juga jaga
kesehatanmu. Tahun depan Mamak akan pulang dengan membawa banyak uang hasil
dari merantau ke ibu kota.’’
Ah, entahlah. Mengapa mamak harus
pergi ke ibu kota, yang aku tahu kejam dan tak me-miliki hati nurani untuk para
pendatang. Atau ke negeri seberang, yang aku juga banyak mendengar cerita
pembunuhan para tenaga kerja Indonesia atas sebab yang terkadang tak masuk
akal. Tak terbayang olehku, wanita yang melahirkanku harus menahan sakit dari
majikan yang kejam terutama penduduk ibu kota yang kaya dan mempunyai banyak
uang. Yang dapat dengan mudah menyiksa, melukai, dan di meja hijau dapat
membalikkan semua fakta yang terjadi sebenarnya.
‘’Aku tahu mamak orang yang kuat,
beliau pasti bisa melewati segala kerikil tajam yang terjadi disana.’’ Ucap
batinku.
Kau melambaikan tangan dari balik
jendela kereta api, dengan senyum yang menawan dan wajah penuh harapan perihal
bahagia yang ditemuinya di ibu kota. Tapi tak hanya kejamnya ibu kota yang aku
takutkan. Tapi sesekali kulirik gerbong kereta api yang sangat panjang. Tak
tahu seaman apakah kereta api kelas paling murah ini, sedang mamak telah
mendapat posisi di dalamnya. Kulihat ia masih tersenyum menawan walaupun kereta
api telah berjalan sedikit demi sedikit meninggalkan tempat aku berdiri,
stasiun kereta api ini seakan sunyi tak berpenghuni.
Ada air bening yang
menetes dari mataku, kepergiannya seakan deraan ke-sakitan yang menghujam
jiwaku. Dari kecil aku tak pernah jauh dari dari wanita berbinar mata sayu itu.
Apapun yang terjadi beliau selalu berada di sampingku. Meski sewaktu aku kecil
begitu nakal dan tak dapat menahan emosi yang berkecamuk kasar.
‘’Anak tukang gorengan mau
sekolah, punya biaya buat bayar SPP?’’ Ketus teman sekelasku yang kala itu
mamak memang menjual gorengan untuk biaya sekolahku.
Aku yang tak mampu menahan emosi,
dengan kasar aku menjambak rambutnya hingga ia menangis tak karuan. Setelah
peristiwa itu aku tak ingin bersekolah lagi, aku lebih memilih membantu mamak
berjualan apapun yang terpenting halal dan kami dapat makan walau hanya sekali
sehari. Mamak bilang aku harus melanjutkan sekolahku yang hanya tamat di
sekolah dasar, dan mamak akan berusaha sekuat tenaga mencari biaya untuk
sekolahku.
Tapi aku bersikeras menolak. Aku tak ingin mamak dihina lagi, aku
juga tak ingin melukai anak orang lagi hingga ia menangis lalu mengadu ke orang
tuanya hingga mamak harus mendapatkan semacam emosi timbal balik dari orang
yang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan anaknya yang telah
menghinaku Hingga kini aku menyesal tak menuruti titahnya, aku lebih
mementingkan egoku sendiri. Kini aku hanya dapat membantu mencari nafkah dari
pekerjaanku yang tak tentu. Sebab itu yang menarik kuat mamak pergi merantau ke
ibu kota.
Kini gerbong kereta api yang
ditumpangi mamak tak terlihat, aku lemah untuk pulang kerumah. Mendapati rumah
yang kosong tanpa mamak yang terkadang tertawa lepas, namun bisa juga cerewet
menasehatiku yang nakal dan sulit diatur. Aku duduk di bangku sepanjang
pinggiran rel kereta api yang tak diduduki banyak orang. Sejam lebih aku duduk
diantara puluhan pasang mata yang melewatiku. Ada yang menatapku sinis, tapi
ada juga yang menatapku dengan penuh kesahajaan. Tapi tubuhku tak semakin
membaik, kepalaku pusing dan langkahku semakin berat untuk beranjak pulang.
Tiba-tiba ada sosok wanita yang
duduk tepat di sampingku. Melirikku sesekali dengan penuh tanda tanya.
‘’Sedang apa disini Nak, mau
berangkat kemana? Atau sedang menunggu seseorang?.’’ Tanya wanita yang kutafsir
seumuran dengan mamak.
Namun dapat kulihat dia orang
yang berada, wajahnya seakan tanpa beban kehidupan. Penampilannya yang
sederhana tapi siapa saja yang melihatnya dapat mengetahui secara jelas jika
dia termasuk orang kaya.
‘’Sejam yang lalu saya
mengantarkan mamak saya yang akan pergi ke ibu kota Bu. Tapi saat saya ingin
pulang, tubuh saya mendadak lemas dan berat melangkah pulang Bu.’’ Jawab saya
pada ibu berbinar mata sayu yang lama kelamaan kulihat mirip sekali dengan
mamak..
‘’Mamak kamu hendak ke Jakarta?
Bekerja? Atau ada yang ingin dicari.’’
‘’Ingin bekerja Bu, meningkatkan
kualitas keuangan keluarga kami yang dari dulu diambang kesulitan.’’
‘’Tepat sekali kalau mencari
pekerjaan, saya tinggal di Jakarta. Saya berkunjung ke Medan ini untuk menemui
salah satu teman, dan di Jakarta saya memiliki usaha kecil-kecilan. Jika mau
mamak kamu bisa bekerja ditempat saya.’’ Tutur ibu itu ramah.
Ternyata ibu baik tersebut tinggal
di Jakarta, fikiranku sedikit salah, tidak semua penduduk ibu kota kejam
terutama orang kaya. Salah satunya ibu baik yang bersedia menerima mamak
bekerja di usahanya sendiri.
‘’Terima kasih sekali Bu, saya
juga sangat khawatir sedari tadi mengenai nasib dan pekerjaan yang tak jelas
ditemui mamak saya sesampainya di Jakarta.’’ Jawabku dengan perasaan yang luar
biasa bahagia.
Aku hanya akan memberikan foto
mamak untuk dapat dikenali oleh ibu baik ini, lalu menghubungi mamak dan
memberitahu tentang pekerjaan yang bisa dilakoninya di ibu kota. Tanpa harus
bersusah payah menjadi pembantu rumah tangga atau menghadapi jalanan ibu kota
yang lebih kejam dari ibu tiri, katanya.
‘’Baiklah, kalau begitu Ibu pamit
ya. Hubungi Ibu di kartu nama ini.’’ Sembari memberi kartu nama miliknya, ibu
tersebut itu pun pergi meninggalkan aku yang telah semangat kembali. Sebab
harapan mamak mendapatkan pekerjaan di ibu kota akan segera tercapai. Dan aku
tak perlu mengkhawatirkan kesusahan mamak karena ada wanita baik yang akan
menjaminnya disana.
Saat aku akan pulang tiba-tiba
ada dua orang pemuda yang duduk di sampingku berkelang satu bangku.
‘’Kasihan kali ya, gerbong kereta
api yang keberangkatan sejam lalu. Gerbongnya anjlok dan kabarnya tidak ada
penumpang yang selamat.’’ Cerita salah satu pemuda pada temannya.
Aku yang tersadar bahwa kereta
api yang membawa mamak ke ibu kota berangkat sejam yang lalu langsung terbesit
untuk mendengarkan lanjutan pembicaraan mereka.
‘’Yang benar kau? Kenapa pula
bisa anjlok?’’ Tanya temannya pada si pemuda.
‘’Kau macam tak tahu saja, itukan
kereta api kelas paling murah. Fasilitasnya tak memadai, kalau dugaanku kereta
itu anjlok karena sudah tak layak dibawa perjalanan, maklumlah kau kereta api
paling murah pulanya. Kau lihat gerbong kereta api yang disana itu? Seperti itu
kereta api yang anjlok tadi.’’ Pemuda itu menunjukkan jenis kereta api yang sama
ditumpangi mamak sejam yang lalu pada temannya.
Seakan aku tak percaya, kudekati
gerbong kereta api itu. Kupandangi dengan seksama. Jenis gerbong kereta api
yang sama saat aku melihat senyum mamak sebelum beliau pergi. Aku kembali lemah
dan tak mampu menahan tubuhku, kartu nama wanita baik itu terbang entah kemana.
Yang kuinginkan saat ini dan seterusnya adalah menanti mamak yang kuharap
kembali ke stasiun kereta api ini. Dan senyum yang menawan itu, bukanlah senyum
terakhir yang kulihat dari wajahnya.
Fokus UMSU, 2012
Terbit di Harian Waspada, 23 September 2012