Senin, 13 Mei 2013

Keindahan Genre dalam Angkatan Sastra Sumut


 Oleh: Hesti Sartika

Karya sastra merupakan sebuah hasil dari kreativitas, imajinasi dan simbol-simbol yang di dalamnya berguna untuk memperindah bahasa yang menjadi medium dalam sebuh karya sastra. Sapardi Djoko Damono memaparkan bahwa sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.

Pengklasifikasian terhadap sebuah angkatan sastra di Indonesia tak lepas dari segala unsur bentuk, pola dan hal-hal yang sering tertera dari sebuah karya sastra. Meliputi jenis sastranya (genre), pikiran, perasaan, gaya bahasa, gaya penceritaan, dan struktur karya sastra. Penulisan sejarah dalam pencitraan sastra yaitu teori estetika persepsi. Penyusunan sejarah sastra berdasarkan teori estetika resepsi dipusatkan kepada pembaca karya sastra sebagai penyambut sastra. Hans Robert Jauss menulis sejarah sastra merupakan sebuah proses resepsi dan produksi estetik yang terjadi dalam pelaksanaan teks-teks sastra yang dilakukan terus-menerus oleh pembaca, kritikus dan penulis dalam kreativitas sastra.

Sesuai dengan angkatan dalam perkembangan kepenulisan sastra ialah; periode Balai Pustaka: 1920-1940, periode Pujangga Baru: 193-1945, periode Angkatan 45: 1940-1955, periode Angkatan 5: 1950-1970, dan periode Angkatan 70: 1965-sekarang (1984). Menurut pola struktural sastra dalam tiap periode ataupun angkatan. Terdapat berbagai perbedaan dan genre yang akan kita temui cukup tematik dalam tiap angkatannya.

Lahirnya sastra Indonesia sendiri pada tahun sekitar 1920 menurut A. Teeuw, terdapat dalam karangannya “Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru”, namun tidak secara tegas menyebutkan awal mula kelahiran kesusastraan Indonesia Baru. Ia hanya memaparkan bahwa pada tahun 1920-an merupakan masa kecil kesusastraan Indonesia modern. Melihat angka tahun yang diungkapkan oleh Teeuw, tentu saja hal tersebut merujuk pada Balai Pustaka dan roman yang pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka yaitu Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar.

Di Sumatera Utara sendiri, banyak sastrawan senior dan sastrawan muda yang saat ini sedang genjar-genjarnya juga mengembangkan karya sastra agar tetap bertahan di Indonesia. Partisipasi mereka yang tak hentinya terus berkarya melalui media cetak, elektronik serta menanamkan sejarah sastra melalui lakonisasi drama, musikalisasi puisi, dan pembaca puisi yang full ekpresi dari sastrawan-sastrawan Medan yang berbakat.

Sastrawan-sastrawan Sumatera Utara antara lain; A. Rahim Qahhar, AS. Atmadi, A. Zaini Nasution, D. Rifai Harahap, Ezra Dalimunthe, Hidayat Banjar, Idris Siregar, Maulana Syamsuri, Mihar Harahap, Moratua Naibaho, M. Raudah Jambak, Hasan Al Bana, Yulhasni, M. Yunus Rangkuti, Jones Gultom, Rasinta Tarigan, Ridwan Siregar, S. Satya Darma, Suyadi San, Syaiful Hadi JL, Teja Purnama, YS. Rat, Harta Pinem, Damiri Mahmud, D. Ilyas Rawi, Idris Pasaribu, Shafwan Hadi Umry, Afrion, Antilan Purba, Jerni Martina Elita Napitupulu, Rosliani, Aishah Basar, Aldian Aripin, Sulaiman Sambas, Thompson HS dan Supri Harahap,

Selain itu penulis-penulis muda Sumatera Utara yang telah menjenguk karya-karyanya di media-media lokal ataupun nasional dan telah menyejarahkan sastra lewat buku-buku antologi dan buku-buku tunggal yang tidak dapat disepelekan kualitasnya, yaitu; Sartika Sari, Maulana Satrya Sinaga, Muhammad Anhar, Sakinah Anisa Mariz, Tanita Liazna, Cipta Arif Wibawa, Ria Ristiana Dewi, Eva Riyanti Lubis dan banyak lagi yang menorehkan tinta mimpi dalam karya-karya sastra.

Dalam pencitraan sastra dalam sastra, pembandingan menjadi hal yang bukan lagi tabu. Salah satu contoh puisi sastrawan senior Sumatera Utara yakni Yulhasni dengan judul “Cinta Sirombu”; secepat itukah engkau berlalu, manisku/kau telah berangkat sebelum aku sempat membuka pintu/ketabahan daun-daun gugur yang kau titipkan itu/bersama anak kita di sirombu, kampung cinta yang telah jadi debu/ (Amuk Gelombang, 2005). Juga puisi Sartika Sari dengan judul “Elegi Titi Gantung”; demi matahari yang tak pernah padam di tubuhku/langit adalah ibu paling baik/yang menyusui dan menjagaku dari sunyi/ (PPN IX Jambi). Kedua penulis di atas menulis puisi dengan begitu simbol yang apik. Sehingga menimbulkan perasaan tersendiri ketika membaca puisi-puisi keduanya. Mereka juga handal menulis berbagai artikel dan essai dalam tajuk budaya dan sastra.

Oleh karena itu, tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan sastra dalam sejarah, dari tahun ke tahun, angkatan ke angkatan memiliki keindahan tersendiri dan segala variatif yang dapat mengembangkan sastra untuk masa depan. Tidak akan menghilang, sebab sastra akan terus dipertahankan bersama.

Penulis Mahasiswa Semester IV Bahasa Indonesia FKIP UMSU dan Bergiat di Komunitas Diskusi Sastra FOKUS UMSU.

Terbit di Harian Waspada-Rubrik Budaya, 12 Mei 2013.

Kamis, 25 April 2013

Jejak Karya_Puisi /10/


PUISI KRITIK

Politik  Menggelitik
Tuan, apa kau ingat
jutaan nyawa mengerap
seakan sulut pengharapan
berjuang untuk politik yang terus menggelitik
tanpa imbalan
berteriak di sepanjang ruas jalan raya
tanpa ada yang peduli kepala mereka pecah.
















Bangsa  Berjiwa

Ini lebih mirip bangsa yang berjiwa
mengerti rakyat menerka-nerka nasib
tentang kemiskinan, kriminalitas dan nyawa
ini bangsa yang aku sebut kenyamanan
bagi mereka yang menetap di ruang mewah
tak terlihat senyawa menyala di luar sana
lalu bangsa berjiwa yang seperti apa?

Fokus UMSU, 2013

Terbit di Harian Waspada-Minggu, 31 Maret 2013.

Jejak Karya_Puisi /9/


Dalam Lara Peraduan
Ada yang sulit dijelaskan pada nalar
tentang ruas-ruas jalanan raya peraduan yang berakar
anak kecil yang mengais rezeki demi hari
hingga pada rambu warna-warni
yang mati lalu nyala kembali
pada waktu itulah kaki berderap letih
di tengah jalan terjal menuju impian nan sepi.


































Matahari Yang Pamit
Aku pamit pergi untuk sejenak
meninggalkan sebingkai dunia yang tak berjejak
bersembunyi di balik cakrawala kehitaman
mengubah cahaya jadi kelam.
Esok pagi ketika aku tak lagi terbit memberikan sepijar cahaya
jangan biarkan risalah menjadi akhiran
tapi semua adalah awalan dalam takdir.

Selamat Tidur (Cinta)
Pada langkah menggapai mimpi
berharap ada sesabit terang pada malam kelam
menjagamu saat makalah-makalah menjadi teman tidur
meski terkadang rerinduanku harus terbengkalai atas namamu
jua tak sulit diikrarkan tentang perjamuan sebuah pertemuan
menjelma sebuah harap untuk tetap bersidekap
selamat tidur ya cinta.

Antara Jawa-Sumatera
Terbentang sebilah garis lurus pembatas
memisahkan pada ruang-ruang pengharapan
ada cinta yang mendekatkan meski waktu menyulitkan
ada pertemuan yang merangkai impian
sering kegelisahan menyurutkan segala kantuk
aku menyebutnya cemburu disertai rindu
padahal ini hanya setumpuk ragu.

Fokus UMSU, 2012

Terbit di Harian Analisa Rabu, 19 Desember 2012.

Artikel Pertama Menyentuh Media


Membaca Gerakan Sastra Sumatera Merdeka
Hegemoni dan Dominasi
Oleh: Hesti Sartika
     
Hegemoni dalam bahasa Yunani diartikan sebagai bentuk kekuasaan terpusat dengan cara mengendalikan daerah-daerah di bawah kekuasaannya suatu negara.  Secara politik dimaksudkan untuk mencapai maksud-maksud tertentu dengan persepsi memaksakan kehendak hingga tercapainya tujuan.

Dalam hubungan ketatanegaraan, hegemoni bisa berarti suatu sistim kekuasaan yang terpusat atau kepemimpinan terpusat yang memiliki kekuasaan untuk menentukan kebijakan bawahannya.

Secara umum, hegemoni merupakan suatu dominasi kekuasaan terhadap kehidupan  sosial masyarakat kelas bawah. Melalui kepemimpinan intelektual dan moral yang dibantu dengan penindasan atau kekerasan. Bisa juga didefinisikan sebagai dominasi oleh satu kelompok tertentu terhadap kelompok yang lain, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominasi terhadap kelompok yang didominasi atau dikuasai, diterima sebagai sesuatu yang wajar dan tidak mengekang pikiran.

Seiring dengan perkembangan teknologi, dominan budaya, politik dan ekonomi bisa menguasai dari satuan yang besar hingga satuan yang kecil. Satuan besar yaitu negara, satuan kecil hingga perorangan. Perlu disadari hegemoni sekarang bisa dipahami sebagai dominansi dari budaya negara maju terhadap negara berkembang. Jadi hegemoni tidak semata-mata dalam bentuk penindasan/penguasaan secara fisik, tetapi bisa penguasaan secara wacana. Hegemoni wacana inilah yang berbahaya, karena manusia tidak sadar bahwa dia telah dihegemoni.

Sebaliknya, Dalam Black’s Law Dictionary, dominasi (dominate) diartikan sebagai to master (someone or something) or to control (someone or something))(Bryan A Garner : 502). Yaitu suatu keadaan tertentu yang dikuasai oleh orang tertentu. Seseorang menguasai seseorang atau suatu.faham politik yang menguasai suatu daerah dengan melakukan penaklukan. Dalam hal ini bisa terjadi melalui eksploitasi terhadap ideologi dan kebudayaan dengan maksud agar mendapatkan keuntungan.

Mengkritisi sistem pemerintahan dalam strata kehidupan sosial masyarakat, baik dalam dunia kesusasteraan dan pengembangan seni budaya lainnya di Sumatera Utara, hegemoni dan dominasi pusat (baca; Jakarta) telah sampai pada sisi yang cukup mengkuatirkan. Sebagaimana disebut Yulhasni dan Afrion dalam tulisan-tulisannya di Rebana Analisa.

Mengamati fenomena yang terjadi di Sumatera Utara (Medan), ada hal-hal yang menarik untuk perbincangkan. Salah satunya muncul gerakan Sastra Sumatera Merdeka yang sedang rame-ramenya dibicarakan para sastrawan, baik dalam diskusi di Taman Budaya secara face to face, personal dan kelompok, maupun di media-media massa.

Sebagai mahasiswa pembelajar sastra, saya merasa gerakan  Sastra Sumatera Merdeka perlu disikapi dengan pemikiran yang jernih, hati-hati dan kesadaran untuk tidak terjebak kepada keretakan hubungan dengan sesama sastrawan, baik yang ada didaerah maupun di pusat (Jakarta) yang secara politik sebagai ibukota Negara. Pemerintahan.dalam hal ini diharapkan juga bersikap toleran dengan memperhatikan suatu keadaan dan kemampuan masyarakat di daerahnya.

Sebagaimana yang dikemukan Yulhasni pada tulisannya di Rebana Analisa Minggu, 9 Desember 2012, perihal memerdekakan diri dari rasa curiga. Menurut saya apakah diperlukan rasa curiga dalam menyikapi munculnya gerakan memerdekakan diri dari hegemoni Jakarta? Hegemoni estetika karya dalam pengembangan kesusasteraan dengan cara mengontrol atau mempengaruhi pemikiran estetika karya sastrawan daerah, tentu sangatlah tidak diharapkan.

Gerakan Sastra Sumatera Merdeka sebagai satu bentuk kesadaran kolektif maupun individu tentunya diletakkan sebagai keinginan untuk keluar dari gejala ‘penindasan’ sistematis atasnama apapun. Berfikir untuk memerdeka diri pada akhirnya memang tidak perlu dicuragai, demi mewujudkan pencapaian estetika karya sastra Sumatera Utara dihargai oleh penerbit Jakarta.

Dominasi pusat (baca; Jakarta) sebagaimana disebut Afrion telah mempengaruhi estetika karya sastra di Sumatera Utara. Gugatan terhadap sisitim dominasi ini misalnya disebut Afrion dengan memonopoli pemasaran buku-buku pelajaran sejarah sastra di sekolah maupun perguruan tinggi dengan mengabaikan perkembangan sejarah kesusasteraan yang mucul di daerah.

Dengan demikian sudah semestinya kehadiran Sastra Sumatera Merdeka yang mengkritisi hegemoni dan dominasi sejarah kesusatraan Indonesia oleh Jakarta dengan mengabaikan apa yang terjadi di daerah, perlu didukung oleh semua pihak.

Dalam bidang penerbitan buku-buku disebut Idris Pasaribu penerbit Jakarta telah mematikan penerbit di daerah. Pertjetakan Tapanoeli di Jalan Mesjid Medan salah satu percetakan yang melahirkan banyak karya sastra kini tutup. Ada penerbit dan percetakan Bin Harun di jalan Perdana, Firma Hasmar di jalan Serdang dan CV Madju di jalan Amaliun yang kini telah bangkrut dan tutup karena buku-bukunya tidak menjadi rujukan oleh pemerintah pusat karena telah digantikan oleh buku-buku terbitan Jakarta.

Dengan demikian dapat dimaklumi bahwa maksud dan tujuan gerakan Sastra Sumatera Merdeka agar terbentuk kesadaran kolektif masyarakat terhadap sistem monopoli pemasaran dan penerbitan buku di Jakarta yang menghancurkan penerbit buku di daerah. Khususnya di dunia pendidikan dan perguruan tinggi yang sekarang menggunakan buku terbitan Jakarta.

Seperti yang diungkapkan Afrion dalam tulisannya di Rebana Analisa Minggu, 9 Desember 2012. Gerakan Sastra Sumatera Merdeka mestinya diartikan sebagai spirit menumbuhkan kebersamaan sebagai suatu gerakan membendung monopoli penerbit buku Jakarta memasuki wilayah pangsa pasar daerah. Apalagi cenderung menguasai pemakaian buku pelajaran di sekolah dan perguruan tinggi.

Usaha membendung monopoli penerbitan buku Jakarta memasuki wilayah pasar daerah agar tak semakin meluas. Sehingga penerbit-penerbit buku daerah dapat hidup kembali sesuai alur dan porsi yang telah ditetapkan oleh masing-masing daerah. Sehingga  tidak ada lagi dominasi penerbit Jakarta menguasai pemasaran buku di daerah.

Akibat lain yang muncul dari beredarnya buku-buku terbitan Jakarta, nyatanya dampak pula dengan penggunaan bahasa oleh masyarakat di daerah. Kita menemukan banyak penggunaan bahasa Jakarta (Betawi) dikalangan anak-anak muda seperti “banget, sih, dong, gue, lo,” dan lain sebagainya.

*Penulis adalah mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia UMSU dan bergiat di Komunitas Diskusi Sastra FOKUS UMSU dan Laboraturim Sastra Medan.

Terbit di Harian Analisa Minggu-Rebana, 30 Desember 2012.


Senin, 22 April 2013

Jejak Karya_Puisi /8/


Warna Ke Seratus Satu
Oleh: Hesti Sartika

Ini kali ke seratus satu kau menggantung pelangi
persis dengan banyaknya warna yang membujur sehabis hujan
rintiknya deru bening hujan masih mengiringi kehadiran pelangi
dan kita duduk tersipu di antara bilah wajah
saling menatap bergantian
sesekali melirik lelangit yang malu-malu menyuguhkan setengah lingkaran
yang melukiskan banyak warna sekaligus membuktikan kuasa-Nya.
Barangkali, kita sering menepiskan segala tangis
di kala hujan, kau seakan tak terlihat basah sebab air mata
menyunggingkan senyum; isyarat “aku masih sanggup Nak”
dan aku mengajakmu duduk di sela sendu teramu di kalbu
menanti, menanti,
wajah pelangi yang penuh arti.
“Bahkan pelangi masih sanggup hadir, setelah bumi menangis”
jangan salahkan cerita tentang hidup kita yang penuh warna
seindah pelangi; Tuhan menakdirkan warna yang melintang
di lelangit basah kita.


















Fokus UMSU, 04 Februari 2013

Termaktub dalam buku Kumpulan Puisi Mimpi Pelangi "Mengeja Warna Jembatan Langit" oleh Dream Power Publishing sebagai Juara Harapan I (2013).


Jejak Karya_Puisi /7/


Bias Masa Lalu
Ada asa yang bergelut dengan nanar
ketika sampiran merah jambu di jantungku
menembus bias masa lalu dalam kenang
yang lirih, sendu dan jutaan lara
semua beradu air mata
pada senja yang kusebut pagi
semua beranjak, berlalu.

Meja Makan
Meja makan menguap bersama embun
lalu pelan-pelan terpisah menepi diri
di atas meja ini pernah ada cerita
tentang hidangan dan keheningan
dan hilang ditelan bentuk waktu
melebur di rumah tanpa kita.

Za(m)
Ada yang ingin kukisahkan, Zam
ihwal rasa yang bertabuh jadi malu
aku yang dulu peragu berteriak tanpa lesu 
menitahmu untuk kian terus menjaga kasih
agar tak ada mencipta perih
di antara perjalanan angin yang terhenti.

                              
                                       













                                  Fokus UMSU, April 2013

Terbit di Harian Medan Bisnis-Karya Belia, 21 April 2013

Rabu, 10 April 2013

(Hanya) Suara Hati


Ada yang harus dijelaskan selagi waktu mengudara dan menguap seiring waktu mampu mengulangi kisahnya. Dalam pelarian kita yang demikian detailnya, aku tak juga paham apa yang ada dalam hatimu dan tak juga mengerti tentang waktu yang kau junjung tinggi dan kau sebut aku sebagai penguasa waktumu. Bila pada masanya kita tak lagi saling menyapa dan melampirkan doa sebening embun. Simpan aku sebagai pagimu yang demikian indah dan sejuknya dalam hatimu. Mungkin tetap waktu yang terus menggulirkan riwayat cerita yang baik dan buruk bagi setiap manusia.

Lambaikan segala kedukaan dan lara hati yang terus saja membuatmu sepi. Dalam penanti ada saja yang terus-terus menyerukan sebuah jawaban. Cepat atau lambat semua akan terjawab. 
"Tungguku dan tunggumu menjadi satu yang suatu hari nanti akan bercerita tentang kegelisahan meski kita sendiri sulit menerima segala kenyataan yang dengannya kita belajar sebuah keikhlasan."

Ihwal pengharapan, selalu saja yang ada menggiling pemikiran. Bahwa menerima takdir ialah sebuah dokumen penting yang sangat wajib ditelaah lebih dalam dan harus melewati segala macam percobaan hingga nanti kita akan juga paham tentang arti sebuah penghidupan.

Pada dasarnya selalu ada yang berkisah tentang tangis dan segala cerita tragis. Dan kita tak juga paham masa-masa apa saja yang telah terlewati dalam sebuah perjalanan yang mereka anggap perjalanan kepiluan. Lalu kita sedemikan yakinnya bahwa ada rasa gemuruh terus menghantui setiap hati pengikutnya. Kita terikut, dan aku yakini ada di antara kita yang terus saja bermain dengan segala kenangan. 
"Percaya pada sebuah masa lalu sama saja artinya percaya pada sebuah kisah yang telah jadi sejarah dalam sebuah penghidupan. Dengannya, kita banyak belajar arti sebuah perjalanan yang terus menerus lalu seketika menghilang."

Melupakan, masa dimana sebuah takdir berakhir pada riwayat mengingat hal yang ingin dilupakan. Semua berjalan seiring waktu dan kita tak dapat menghindari segala hasilnya. Semua berjalan searah rotasinya, berputar seiring derap langkahnya. Dan kita, hanya mampu menerima dan menggenggam hasil ketika masa itu berakhir di tubuh lahir.

-22 Maret 2013-

Jejak Karya_Puisi /6/


AWAL APRIL
Dalam sepinya malam yang berlari kelam
ada geliat duka yang kutemukan
ketika seluruh asa bermuara pada sekat-sekat rasa
yang berakhir di pengharapan tak bertepi
di awal April ini ada rindu menumpuk di jantungku
mengais satu demi satu kenangan
lalu perlahan mengaduk almanak
agar puluhan angka itu tak mengulang semua ingatan.
            Fokus UMSU, April 2013





















SEBENARNYA MIMPI
Pelan-pelan harus terbatasi segala ruang
seketika benih-benih embun itu jatuh menjauh
terbias pada sela-sela dedaun selebar hati
kalbu yang siap disinggahi
dilumuri segala elegi yang melesat kesat
aku pahami rasa yang demikian hampa
menjunjung segala fiksi menjelma sebenarnya mimpi.
            Fokus UMSU, April 2013

SENJA YANG HIJAU
Ini senja di mana aku terakhir kali melihat senyummu
lesung pipi, hangatnya jemari dan manisnya es krim
merangkul kita di waktu yang sendu
meluapkan segala cerita, ihwal segalanya
dan saat itu aku tak pernah berpikir kehilangan matahari
seperti kehilanganmu
dan semesta adanya hanya fana.
            Fokus UMSU, April 2013

HUJAN KITA
Aku tak pernah alpa meletakkanmu di rerintiknya hujan
terlebih ketika hujan senja yang tak pernah membuat gigil
menemukan sketsa wajahmu di antara bening tetesnya
serupa sebulan lalu yang sama kisahnya
ini hujan kita yang sekian
kunikmati sendiri tanpamu dan secangkir kopi
tanah basah mengingatkanku
padamu yang berlalu sebelum hujan reda.
            Fokus UMSU, April 2013

Terbit di Harian Analisa-Rabu 10 April 2013

Sabtu, 30 Maret 2013

Kedukaan Ibu


Aku lelah. Ketika tubuh enggan bersemangat memacu degup jantung. Seakan ada yang membatasi dalam sekat-sekat pengharapan hidupku. Mencoba memahami tiap beban yang menimpa tetubuh yang semakin lemah tak berdaya. Aku menahan dera yang mengganas dalam penghidupan. Menjaga ibu menguasai segala pikirannya. Agar tak jadi mengambang dan mengawan tak tentu arah. Seolah ruas yang menjadi penghalang ketika aku harus merangkai aktifitas menjadi tahapan peraduanku menuju masa depan. Namun bukanlah suatu sengketa yang harus aku perdebatkan dengan Tuhan saat penjagaanku dan beban yang ditumpahkan padaku harus diadukan menjadi sub-sub judul yang memperparah keadaannku saat ini. Segala riwayat beban harus kulakoni meski dengan terjalnya jalan mengalungkan ibu dengan cinta kasih yang juga pernah beliau berikan padaku. Rasa hormatku melunturkan kesakitan dan segala lelah yang tumbuh lalu layu saat kembali teringat sayangnya ibu padaku.
“Ibu bukanlah beban kehidupan yang harus diratapi, beliau adalah cinta yang Tuhan titipkan. Maka aku harus menjaganya tanpa harus menganggap semua ini adalah risalah siksaan.’’
Ibu, kini sering kali melamun. Tak mau makan dan sering bertindak aneh. Semenjak kecelakaan yang menimpa ayah empat bulan lalu, beliau seperti kehilangan setengah dari jiwa sadarnya. Kecelakaan tragis itu menggiring kepergian ayah kala itu. Kematian menjenguk ayah saat ia akan berangkat mengantar surat ke kantor pos untuk adiknya yang tak lain adalah pamanku yang berada di Jawa. Setiap bulannya, aku tak pernah alpa mengantarkan surat itu ke kantor pos. Namun kali ini, entah mengapa ayah ingin sekali mengantar surat itu sendiri ke kantor pos.
“Waris, hari ini biar ayah yang mengantar surat ini ke kantor pos ya. Kamu di rumah saja menjaga ibu.” Ucap ayah sesekali membenahi kemejanya.
“Kenapa ayah yang mengantarnya? Biasanya toh Waris yang mengantarkannya.”
“Tak apa, ayah hanya ingin sesekali keluar rumah. Tidak apa-apa, kan?”
“Baiklah kalau itu kehendak ayah, Waris hanya bisa menuruti. Ayah hati-hati saja di jalan.” Ingatku pada ayah yang akan hendak melangkah keluar.
Tak lupa ia pamit pada ibu. Kedua orang tuaku jarang sekali bertengkar. Mereka sangat rukun. Namun sayang mereka hanya dianugrahi satu anak yaitu aku. Aku bahagia memiliki mereka, meski hanya bertiga, keadaan rumah sering ramai dengan candaan kami.
Berbeda dengan sekarang, kematian yang menjenguk ayah mengajaknya ke tempat muasal kematian itu ada. Sontak, kejadian ini membuat ibu lupa diri. Ibu tak bisa menerima musibah ini. Beliau sering tertawa sendiri, tatapannya kosong dan tak jarang mengais sendu pada pelupuk matanya.
Aku galau tak berkesudahan. Ibu sulit dikendalikan. Aku tak pernah membiarkan ibu keluar dari rumah. Selain khawatir atas keadaan luar yang bisa kapan saja menimpa ibu. Beliau juga menimbulkan kekhawatiran bagi tetangga-tetangga di sekitar rumahku. Pernah, saat ibu duduk di beranda rumah. Anak-anak mendatanginya. Menatapnya dengan pandangan sinis dan ocehan yang sangat mengganggu ibu saat itu. Penampilan ibu yang tak karuan membuat mereka aneh dan malah semakin mendekati dan mengganggu ibu. Bukannya aku tak mengurusinya, aku sudah memandikannya, menyisir rambutnya, memberinya makan, bahkan merapikan segala hajatnya. Tapi semua percuma, namun sungguh aku tak pernah lelah melakukannya.
“Orang gila… Orang gila…” teriak anak-anak itu beramai-ramai, mengusiknya dan seketika ibu merasa terancam.
Ibu berteriak sekerasnya, mengejar semua anak-anak itu hingga mereka berhamburan bagai pepasir yang tertiup angin. Luntang lantung mereka melindungi diri dan masuk ke rumah masing-masing. Anak-anak yang masih berlari dikejar ibu sambil melempari mereka dengan batu-batu kecil yang terjangkau olehnya.
Di hari lain, tanpa sepengetahuanku ibu keluar rumah dan berjalan mengelilingi perumahan tempat tinggalku. Saat itu aku sedang memperbaiki barang-barang elektronik yang rusak dan melimpah di dalam kamarku, itulah pekerjaanku Aku sudah memberi ibu makan siang dan membiarkannya di kamar setelah beliau mengusirku pergi dari kamarnya. Namun kali ini penjagaanku lemah. Ibu dianggap mengganggu ketenangan masyarakat. Dari pengakuan mereka, beliau mengusik anak-anak mereka saat bermain di taman. Padahal sepengetahuanku, ibu hanya terbiasa diam di rumah. Ibu tak akan mengusik bila tidak merasa terancam.
Derap langkah kaki seakan menyerang datang ke rumahku. Berisik dan terusik segala isi rumah ini. Segerombolan masyarakat mendatangi rumahku. Hawanya terasa sangat panas. Mereka marah-marah tak terkendali. Menghujat ibuku dan mencoba mengusirnya dari tempat tinggalku.
“Hei, bawa ibumu pergi dari sini! Ia membuat kami tidak tenang. Ia menakut-nakuti dan mengusik anak-anak dan mengganggu ketenangan warga! Bawa ibumu jauh-jauh dari sini!!” bentak salah satu warga dengan amuk kemarahan serupa bara yang merah.
Aku keluar dari rumah, ledakan suara mereka semakin kasar.
“Pergi dari sini, jangan kembali lagi! Enyah dari hadapan kami!” teriakan-teiakan itu penuh di telinga dan pikiranku.
“Ah, apa lagi ini Tuhan. Cobaan apa lagi yang mendarat ke beranda rumahku saat ini.” Ucap batinku disertai gemeletar tubuh yang melemah. Bingung yang mendera seakan sulit melawan puluhan orang yang kini menghujat aku dan ibu untuk pergi meninggalkan rumah peninggalan ayah ini. Wajah memelasku semakin membuat mereka marah tak karuan. Dentuman kerusuhan semakin tergambar jelas di depan mataku. Sepatah bahkan sebait katapun tiada mampu merangkap ke telinga mereka.
“Ibumu itu sudah gila, bawa saja ia ke rumah sakit jiwa atau pasung dalam rumah.  Jangan sekalipun izinkan ia keluar dari rumah, jika kau tak mau ada korban karena ibumu yang sudah tidak waras itu.” Hujat ibu berbadan gempal kepadaku sambil mengarahkan telunjuknya ke arahku. Yang lain mengiyakan ucapannya. Prahara semakin menjadi, aku tak diberikan waktu sedikitpun untuk bicara. Aku seakan siap mati dikeroyoki segala hinaan hingga tubuhku lebam kebiruan.
Tapi aku harus membela diri, tak bisa kubiarkan mereka terus menghujat ibuku. Mereka tak bisa main hakim sendiri dengan mengusir aku dan ibu seenak jidat mereka.
“Tenang semua!! Baiklah, bila kalian ingin aku dan ibuku pergi, maka kami akan pergi. Tapi aku tidak akan membiarkan ibuku masuk ke rumah sakit jiwa apalagi memasungnya. Kami akan pindah sesuai kehendak kalian. Tapi aku mohon jangan sesekali kalian sentuh rumah peninggalan dari almarhum ayahku ini. Aku dan ibuku akan pindah tapi rumah kami tetap disini. Sekarang kalian boleh pergi dan berhenti membuat kerusuhan di depan rumahku. Bukankah dengan begini kalian sama saja seperti orang gila yang mengganggu ketenangan orang lain. Maka seharusnya yang harus dibawa ke rumah sakit jiwa ataupun dipasung adalah kalian semua!.”
Yah, kali ini aku yang bicara hampir seperti orang gila. Membuat mereka ketakutan dan pergi dari rumahku dengan ocehan-ocehan yang menghujat dan mengiringi langkah mereka kembali entah kemana mereka mau kembali. Rumahku kembali sepi. Ibu ketakutan di sudut kamar ketika aku masuk. Pastinya karena kerusuhan yang baru saja terjadi membuatnya ketakutan dan merasa terancam. Wajahnya cemas, bergetar disertai tangisan yang tumpah membasahi wajahnya. Ah, beliau memeluk foto alhamarhum ayah. Sudah kuduga, ibu tidak gila. Ia masih ingat ayah dan cara memeluk lelaki kecintaannya itu penuh dengan ketulusan dan kasih sayang.
“Tenang ya bu, semua akan baik-baik saja. Waris akan menjaga ibu, tapi kita harus segera pindah dari sini. Ke tempat yang lebih membuat ibu tenang. Di sini tidak baik untukmu bu.” Ucapku lembut menenangkan ibu sembari mengangkatnya kembali ke dipan agar beristirahat setelah mendengar segala hujatan yang membuatnya lelah. Ibu menatap wajahku. Tergambar jelas dari matanya bahwa beliau masih sangat menyayangiku.
Embun yang jatuh dari hijaunya dedaunan dan membasahi tanah desa ini membuat ibu jauh lebih tenang. Desa ini jauh dari hingar bingar penduduk kota yang garang dan kasar. Pun terasing dari suara riuh kendaraan yang begitu mengganggu. Aku juga dapat dengan tenang melanjutkan pekerjaanku sebagai servis barang elektronik. Meskipun tidak begitu besar upahnya, namun mampu mencukupi kebutuhan aku dan ibu. Warga di desa ini juga sangat ramah, mereka mengerti keadaan kami. Bila tidak mengganggu maka tak akan ada yang merasa terganggu.
Sebulan atau dua bulan sekali aku dan ibu tetap mengunjungi rumah peninggalan almarhum ayah. Tempat dimana ibu pernah dihujat tapi juga tempat bergumulnya kenangan-kenangan yang seringkali menumbuhkan tangis atas nama kerinduan kenangan itu. Sekedar membersihkan isi rumah sekaligus memantau keadaan rumah agar tetap utuh tanpa seorangpun yang berani mengusiknya. Ibu terlihat sangat bahagia bila kuajak ke rumah kami di kota. Beliau tersenyum sendiri bila duduk di ruang keluarga. Sambil memandangi foto almarhum ayah yang masih sangat tampan. Namun, kegiatanku membersihkan dedebu rumah peninggalan ayah sering terhenti sebab terkejut mendapati ibu yang menangis dan menjerit secara tiba-tiba.

Fokus UMSU, November 2012
Terbit di Analisa-Rabu, 13 Maret 2013

Jejak Karya_Puisi /5/


Musim Kering
Musim ini ada yang tergantikan
ketika harus seminggu dijejali prasangka
musim kering nuansa duka
tersadar sosok-sosok peneman sepi
lebih penting dari musim semi.

Lembar Pertama
Masih ingatkah?
ketika ada namamu di tiap lembar pertamaku
seakan menenuhi semua kertas
lalu aku nanar pada kalimat yang terangkai
penuh tanya yang berakar
terpendar pada setiap jantung yang berdebar
Ti, kata di setiap awal baitmu
masihkah?

Langit Biru, An
Di senja kemarin hujan adalah teman baik
saat kita menghitung jatuh rintiknya
sambil menengadah penuh harap
“semoga tak terpisah”.
Lalu kini senja menatap sinis hujan
akupun begitu
bersebab waktu memilih jadi batu
beku laku yang berujung sendu.

Medan Fokus UMSU 2013
Terbit di Medan Bisnis-Karya Belia, 24 Maret 2013

Selasa, 26 Februari 2013

Jejak Karya_Puisi /4/



Malam Rapuh
Malam semakin rapuh dan bulan lusuh
bahkan tanpa disadari cahaya mendadak pergi
aku malah turut tak bergeming
menggelayuti seranting rindu
mencerna asa hingga terbuang
menjadi barang hampa tak terbaca
berkisah ihwal derita atas nama luka.

24 Jam
Mungkin hanya waktu yang berbisik
mengenai rambu jalanan yang berganti
dua puluh empat jam tanpa henti
selaksa rerambu kehidupan
yang terus mengajak mewarnai mimpi
berganti dan sulit dimengerti.

Mengukir Cerita
Mengawali hari dengan alunan doa
berfirasat bahwa kita tetap berada pada lingkup pesona
menebar warna bagi sesiapa yang ingkar
tentang warna dan segala cerita
menetapkan muasal lahir
di tubuh memegang takdir.

Medan, Fokus UMSU 2013
Medan Bisnis-Karya Belia, 17 Februari 2013

Rabu, 06 Februari 2013

Jejak Karya_Puisi /2/


Perihal Asa
Cerita kita terdampar di tepian
segala mimpi semacam asa yang marah
meminta langkah untuk tetap berderap
merapikannya dari secarik kertas
menjadi tumpukan nafas penghidupan
yang tak ragu dan goyah
meski waktu sering lamban dan bergerak cepat.

Rayuan Kembang Kenangan
Menguak sedemikian indahnya mawar
mengucap rindu pada satu yang nanar
mencipta tangis di antara kelopak sendu
dan aku rindu
pada kembang yang merayu di atas meja
berkisah tentang kenangan pemberian
atas namamu dan cerita yang tak abadi.

Medan, Fokus UMSU 2013
Medan Bisnis-Karya Belia, 03 Februari 2013

Jejak Karya_Puisi /1/


Kisah Pahit
Tak ada yang dapat digariskan
ketika Tuhan bercakap-cakap tentang takdir
aku lebih memilih mati ketika kisah pahit perih
menjelma alur peraduanku yang sunyi.

Sepuh Senyap
Panas menyepuh meluruh pada sendi tubuh
lalu lenyap seumpama menyekap
dalam riwayat jeritan yang tak pernah senyap
aku bintang yang gelap
menampik penuh kalap
tiada yang mengerti sepetak makam
yang ada hanya sepuh senyap.


Amuk Lara
Terjalnya sepi seakan menguji nyali
masih tentang cinta yang tak terpatri
mengamuk
langit marah atau penuh amarah
mengisahkan hujan pada tepian tangis
mencipta genangan yang tak menyisakan desakan.

Medan, Fokus UMSU 2012
Medan Bisnis-Karya Belia, 30 Desember 2012

Beasiswa dari Botol Bekas_Cerita Anak


Siska ialah anak yang cantik dari keluarga yang kaya. Semua kebutuhannya seperti sekolah, bimbingan belajar dan kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi oleh orang tuanya yang bekerja di salah satu perusahaan. Dia termasuk anak yang mempunyai banyak teman. Namun terkadang karena dia berasal dari keluarga yang kaya, dia masih memiliki sifat angkuh dan sombong.
Di sekolah Siska memiliki dua orang teman dekat, Nuri dan Sukma. Kemanapun pergi mereka selalu bertiga termasuk saat bimbingan belajar pada sore hari setelah pulang sekolah. Namun di sekolah ada seorang anak yang bernama Fatimah yang tidak disukai Siska. Fatimah anak yang cerdas, meskipun siang harinya setelah pulang sekolah ia harus mengumpulkan botol-botol bekas untuk dijual. Dengan hasil dari penjualan botol-botol bekas Fatimah dan Ayahnya, ia dapat bersekolah meski dengan pakaian dan buku seadanya. Ibu Fatimah telah lama meninggal karena penyakit sesak nafas saat Fatimah berumur lima tahun. Meskipun begitu Fatimah tetap semangat sekolah untuk meraih cita-cita menjadi seorang guru.
Siska tidak menyukai Fatimah, karena Fatimah sering kali mengalahkan nilainya di kelas. Siska selalu menjadi urutan kedua setelah Fatimah. Tak jarang Siska menyebut Fatimah dengan sebutan ‘’tukang botol bekas’’. Siska mengetahui upaya Fatimah untuk melanjutkan sekolahnya yang sekarang masih di kelas dua sekolah menengah pertama. Namun ketika Siska sering mengejek Fatimah, Fatimah hanya tersenyum. Ia memiliki kebanggaan sendiri, karena meskipun hanya sebagai tukang pengumpul botol bekas hasil dia dan ayahnya, ia dapat tetap sekolah dan makan meskipun dengan lauk seadanya. Meskipun biaya sekolah sebagian gratis yang Fatimah dapat dari beasiswa, ia tetap harus membantu ayahnya mencukupi kehidupan sehari-hari.
‘’Tukang botol bekas, pasti pulang sekolah ini kamu pergi ke jalanan untuk mengutip botol-botol yang ada di jalanan ya?’’ ketus Siska pada Fatimah yang baru keluar dari kelas.
Namun tetap saja Fatimah hanya tersenyum, toh apa yang dikatakan Siska tidaklah salah. Apa yang dilakukan Fatimah setiap harinya juga bukanlah perbuatan haram.
Siang ini seperti biasa Fatimah bersama ayahnya mencari botol-botol bekas untuk tambahan biaya sekolah dan makan nanti malam. Ayahnya yang meski masih muda namun kelihatan tua karena lusuh tersebut melewati sepanjang jalan sambil membawa gerobak dan karung untuk tempat botol bekas.
‘’Bagaimana tadi di sekolahmu Fatimah?’’Tanya ayah Fatimah.
‘’Alhamdulillah lancar yah, Fatimah dapat nilai seratus lagi pelajaran matematika.’’ Jawab Fatimah ceria.
‘’Alhamdulillah, ternyata anak ayah pintar sekali. Kamu harus tetap semangat sekolah ya Fatimah, ayah akan sekuat tenaga mencari uang untuk sekolah kamu. Kamu harus bisa meraih cita-citamu.’’ Nasihat sang ayah.
‘’Pasti ayah, Fatimah akan tekun belajar.’’
Mereka kembali menyusuri jalanan, tapi keduanya memutuskan berpencar seperti biasanya. Fatimah kekanan dan ayahnya kekiri. Lalu di sore hari mereka bertemu di tempat yang sama untuk pulang kerumah.
Fatimah sering sekali melihat orang-orang membuang botol bekas sembarangan, tidak di tempat sampah yang telah disediakan. Tak hanya botol bekas, tetap juga bungkusan-bungkusan makanan yang dapat mengotori lingkungan. Sambil mengambil botol-botol bekas itu ia juga sekaligus mengambil sampah-sampah bungkusan lalu dibuang ke tempat sampah. Selain mencari nafkah Fatimah juga membantu membersihkan lingkungan agar tetap tampak indah.
Di jalan lain ayah Fatimah tak jauh berbeda, botol-botol bekas terkumpul dan sampah-sampah di jalanan dibuang pada tempatnya. Namun, ketika ayah Fatimah akan menyebrang jalan ada sebuah mobil sedan yang melaju cukup kencang, sehingga sedikit menabrak tubuh lemah ayah Fatimah. Langsung saja pemilik mobil keluar dan menolongnya, tak lain Siska keluar dengan penuh kecemasan. Meskipun terkadang ia sombong tetapi pada orang-orang yang tidak mampu seperti ayah Fatimah ia cukup peduli apalagi mobil ayahnya yang hampir menabrak ayah Fatimah.
‘’Bapak tidak apa-apa, maaf pak saya buru-buru. Mohon maaf sekali, saya bawa kerumah sakit saja pak?’’ Ucap ayah Siska dengan penuh tanggung jawab.
‘’Iya pak, kerumah sakit saja ya?’’ Sambung Siska.
‘’Saya tidak apa-apa pak, nak. Hanya sedikit terjatuh tapi tidak terluka. Saya hanya harus cepat pulang, karena sudah sore dan anak saya sedang menunggu saya.’’ Jawab ayah Fatimah sembari mengutip botol-botol bekas yang berjatuhan dari gerobaknya.
Karena tidak tega langsung saja Siska membantu mengambil botol-botol bekas yang berjatuhan tersebut. Ia merasa kasihan.
‘’Terima kasih nak, kamu baik sekali. Botol-botol bekas ini sangat berguna untuk kami, untuk biaya sekolah anak saya Fatimah dan biaya hidup.’’ Ucapnya.
Siska terkejut dan langsung merasa bersalah pada Fatimah yang saat di sekolah sering diejeknya sebagai seorang ‘’tukang botol bekas’’, padahal hanya karena Fatimah lebih pintar dan berhasil mendapatkan beasiswa yang ia inginkan.
‘’Sama-sama pak, sebagai sesama kita harus saling membantu.’’ Jawab Siska.
Di perjalanan pulang, Siska hanya bisa terdiam dan mengingat kesalahannya pada Fatimah. Dalam hatinya berkata bahwa Fatimah memang berhak atas beasiswa tersebut. Selain karena pintar, Fatimah juga kesulitan membayar iuran sekolah tiap bulannya. Untung saja Fatimah mendapatkan beasiswa.
‘’Tuhan Maha Adil ya Pa.’’ Ucap Siska pada papanya yang sedang menyetir mobil.
‘’Sangat adil, makanya kamu harus bersyukur dengan apa yang kamu miliki sekarang. Karena banyak anak-anak yang harus bekerja keras untuk biaya sekolah bahkan banyak yang tidak bisa sekolah.’’ Tutur papa Siska.
‘’Alhamdulillah, iya pa.’’ Jawab Siska.
Keesokan harinya di sekolah, Siska meminta maaf pada Fatimah karena sering menghina Fatimah. Dan Fatimah dengan senang hati memaafkan Siska meskipun ia telah memaafkan sebelum Siska meminta maaf. Dari dulu Fatimah tidak pernah menyimpan sedikitpun dendam pada Siska. Sejak itu, Fatimah dan Siska menjadi semakin akrab dan menjalin persahabatan.

Fokus UMSU, 2012

Analisa-Taman Riang, 18 November 2012

Selasa, 29 Januari 2013

Terbitan Awal

Dosis Tinggi
Dulu masih terkendali ulasan materi
menteri yang mencari jati diri
kini menapaki jejak si pencuri
miskin hati dan sulit berkasih
nampaknya negara hampir mati
tapi kisah yang abadi tetap tentang korupsi
terlalu tinggi sudah penyakit tanpa makna ini
ingkarnya para penjanji
serupa lintah yang tak takut mati
mengais semua yang tak nampak dan dimiliki
tunggu, ada waktunya kalian mendapat murka Illahi.

Sahabat Kata
Sederet abjad menjelma absah, beragendakan angan
almanak tak lagi berarti, menguap bersama embun perjalanan sunyi
bersahabat dengan kata membuatku bisu
melebihkan tiap sajak, membiarkan kata bermain dalam hati hingga tenggorokan
keluar dan menjadi tanda kehidupan
aku manusia yang tak hanya ingin fasih dalam kata dan cinta
tapi mengudara karenanya.

Ambang Lara
Ibu, ketika musim berganti
aku ingin menemuimu yang tak sedih lagi
mengudarakan segala perih
menyingkirkan segala tangis lirih.
Ibu, biar sakit yang kau rasa pergi
sebagai penyambut cerahnya pagi
kita bersama bernyanyi tentang kebahagiaan hati.

Fokus UMSU, 2012
Waspada, 16 September 2012

Senin, 21 Januari 2013

PENANTIAN DI STASIUN KERETA API


Aku tertegun memandangimu yang melangkah pergi meninggalkanku sendiri di pinggir rel kereta api dan di depan gerbong kereta yang siap kau masuki dan membawamu pergi dari pekatnya kota Medan yang tiap saat selalu membumbung asap perih kehidupan berkisah tentang anak jalanan yang terlantar sulit mencari makan.

 Tentang kita yang terkadang harus merintih perih menahan luka batin yang tersemat tak bisa memudar begitu mudah, setelah kepergianmu malah akan semakin parah ketika aku harus hidup menahan kerinduan dan menelan segala penantian kepadamu.

‘’Hati-hati Mak, jaga kesehatan Mamak disana dan selalulah berbagi kabar ke Medan.’’
‘’Iya Nak, kamu juga jaga kesehatanmu. Tahun depan Mamak akan pulang dengan membawa banyak uang hasil dari merantau ke ibu kota.’’

Ah, entahlah. Mengapa mamak harus pergi ke ibu kota, yang aku tahu kejam dan tak me-miliki hati nurani untuk para pendatang. Atau ke negeri seberang, yang aku juga banyak mendengar cerita pembunuhan para tenaga kerja Indonesia atas sebab yang terkadang tak masuk akal. Tak terbayang olehku, wanita yang melahirkanku harus menahan sakit dari majikan yang kejam terutama penduduk ibu kota yang kaya dan mempunyai banyak uang. Yang dapat dengan mudah menyiksa, melukai, dan di meja hijau dapat membalikkan semua fakta yang terjadi sebenarnya. 

‘’Aku tahu mamak orang yang kuat, beliau pasti bisa melewati segala kerikil tajam yang terjadi disana.’’ Ucap batinku.

Kau melambaikan tangan dari balik jendela kereta api, dengan senyum yang menawan dan wajah penuh harapan perihal bahagia yang ditemuinya di ibu kota. Tapi tak hanya kejamnya ibu kota yang aku takutkan. Tapi sesekali kulirik gerbong kereta api yang sangat panjang. Tak tahu seaman apakah kereta api kelas paling murah ini, sedang mamak telah mendapat posisi di dalamnya. Kulihat ia masih tersenyum menawan walaupun kereta api telah berjalan sedikit demi sedikit meninggalkan tempat aku berdiri, stasiun kereta api ini seakan sunyi tak berpenghuni. 

Ada air bening yang menetes dari mataku, kepergiannya seakan deraan ke-sakitan yang menghujam jiwaku. Dari kecil aku tak pernah jauh dari dari wanita berbinar mata sayu itu. Apapun yang terjadi beliau selalu berada di sampingku. Meski sewaktu aku kecil begitu nakal dan tak dapat menahan emosi yang berkecamuk kasar.

‘’Anak tukang gorengan mau sekolah, punya biaya buat bayar SPP?’’ Ketus teman sekelasku yang kala itu mamak memang menjual gorengan untuk biaya sekolahku. 

Aku yang tak mampu menahan emosi, dengan kasar aku menjambak rambutnya hingga ia menangis tak karuan. Setelah peristiwa itu aku tak ingin bersekolah lagi, aku lebih memilih membantu mamak berjualan apapun yang terpenting halal dan kami dapat makan walau hanya sekali sehari. Mamak bilang aku harus melanjutkan sekolahku yang hanya tamat di sekolah dasar, dan mamak akan berusaha sekuat tenaga mencari biaya untuk sekolahku. 

Tapi aku bersikeras menolak. Aku tak ingin mamak dihina lagi, aku juga tak ingin melukai anak orang lagi hingga ia menangis lalu mengadu ke orang tuanya hingga mamak harus mendapatkan semacam emosi timbal balik dari orang yang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan anaknya yang telah menghinaku Hingga kini aku menyesal tak menuruti titahnya, aku lebih mementingkan egoku sendiri. Kini aku hanya dapat membantu mencari nafkah dari pekerjaanku yang tak tentu. Sebab itu yang menarik kuat mamak pergi merantau ke ibu kota. 

Kini gerbong kereta api yang ditumpangi mamak tak terlihat, aku lemah untuk pulang kerumah. Mendapati rumah yang kosong tanpa mamak yang terkadang tertawa lepas, namun bisa juga cerewet menasehatiku yang nakal dan sulit diatur. Aku duduk di bangku sepanjang pinggiran rel kereta api yang tak diduduki banyak orang. Sejam lebih aku duduk diantara puluhan pasang mata yang melewatiku. Ada yang menatapku sinis, tapi ada juga yang menatapku dengan penuh kesahajaan. Tapi tubuhku tak semakin membaik, kepalaku pusing dan langkahku semakin berat untuk beranjak pulang.

Tiba-tiba ada sosok wanita yang duduk tepat di sampingku. Melirikku sesekali dengan penuh tanda tanya.
‘’Sedang apa disini Nak, mau berangkat kemana? Atau sedang menunggu seseorang?.’’ Tanya wanita yang kutafsir seumuran dengan mamak.

Namun dapat kulihat dia orang yang berada, wajahnya seakan tanpa beban kehidupan. Penampilannya yang sederhana tapi siapa saja yang melihatnya dapat mengetahui secara jelas jika dia termasuk orang kaya.
‘’Sejam yang lalu saya mengantarkan mamak saya yang akan pergi ke ibu kota Bu. Tapi saat saya ingin pulang, tubuh saya mendadak lemas dan berat melangkah pulang Bu.’’ Jawab saya pada ibu berbinar mata sayu yang lama kelamaan kulihat mirip sekali dengan mamak..

‘’Mamak kamu hendak ke Jakarta? Bekerja? Atau ada yang ingin dicari.’’
‘’Ingin bekerja Bu, meningkatkan kualitas keuangan keluarga kami yang dari dulu diambang kesulitan.’’
‘’Tepat sekali kalau mencari pekerjaan, saya tinggal di Jakarta. Saya berkunjung ke Medan ini untuk menemui salah satu teman, dan di Jakarta saya memiliki usaha kecil-kecilan. Jika mau mamak kamu bisa bekerja ditempat saya.’’ Tutur ibu itu ramah.

Ternyata ibu baik tersebut tinggal di Jakarta, fikiranku sedikit salah, tidak semua penduduk ibu kota kejam terutama orang kaya. Salah satunya ibu baik yang bersedia menerima mamak bekerja di usahanya sendiri.
‘’Terima kasih sekali Bu, saya juga sangat khawatir sedari tadi mengenai nasib dan pekerjaan yang tak jelas ditemui mamak saya sesampainya di Jakarta.’’ Jawabku dengan perasaan yang luar biasa bahagia.

Aku hanya akan memberikan foto mamak untuk dapat dikenali oleh ibu baik ini, lalu menghubungi mamak dan memberitahu tentang pekerjaan yang bisa dilakoninya di ibu kota. Tanpa harus bersusah payah menjadi pembantu rumah tangga atau menghadapi jalanan ibu kota yang lebih kejam dari ibu tiri, katanya.

‘’Baiklah, kalau begitu Ibu pamit ya. Hubungi Ibu di kartu nama ini.’’ Sembari memberi kartu nama miliknya, ibu tersebut itu pun pergi meninggalkan aku yang telah semangat kembali. Sebab harapan mamak mendapatkan pekerjaan di ibu kota akan segera tercapai. Dan aku tak perlu mengkhawatirkan kesusahan mamak karena ada wanita baik yang akan menjaminnya disana.

Saat aku akan pulang tiba-tiba ada dua orang pemuda yang duduk di sampingku berkelang satu bangku.
‘’Kasihan kali ya, gerbong kereta api yang keberangkatan sejam lalu. Gerbongnya anjlok dan kabarnya tidak ada penumpang yang selamat.’’ Cerita salah satu pemuda pada temannya.

Aku yang tersadar bahwa kereta api yang membawa mamak ke ibu kota berangkat sejam yang lalu langsung terbesit untuk mendengarkan lanjutan pembicaraan mereka.

‘’Yang benar kau? Kenapa pula bisa anjlok?’’ Tanya temannya pada si pemuda.
‘’Kau macam tak tahu saja, itukan kereta api kelas paling murah. Fasilitasnya tak memadai, kalau dugaanku kereta itu anjlok karena sudah tak layak dibawa perjalanan, maklumlah kau kereta api paling murah pulanya. Kau lihat gerbong kereta api yang disana itu? Seperti itu kereta api yang anjlok tadi.’’ Pemuda itu menunjukkan jenis kereta api yang sama ditumpangi mamak sejam yang lalu pada temannya.

Seakan aku tak percaya, kudekati gerbong kereta api itu. Kupandangi dengan seksama. Jenis gerbong kereta api yang sama saat aku melihat senyum mamak sebelum beliau pergi. Aku kembali lemah dan tak mampu menahan tubuhku, kartu nama wanita baik itu terbang entah kemana. Yang kuinginkan saat ini dan seterusnya adalah menanti mamak yang kuharap kembali ke stasiun kereta api ini. Dan senyum yang menawan itu, bukanlah senyum terakhir yang kulihat dari wajahnya.

Fokus UMSU, 2012
Terbit di Harian Waspada, 23 September 2012