Selasa, 29 Januari 2013

Terbitan Awal

Dosis Tinggi
Dulu masih terkendali ulasan materi
menteri yang mencari jati diri
kini menapaki jejak si pencuri
miskin hati dan sulit berkasih
nampaknya negara hampir mati
tapi kisah yang abadi tetap tentang korupsi
terlalu tinggi sudah penyakit tanpa makna ini
ingkarnya para penjanji
serupa lintah yang tak takut mati
mengais semua yang tak nampak dan dimiliki
tunggu, ada waktunya kalian mendapat murka Illahi.

Sahabat Kata
Sederet abjad menjelma absah, beragendakan angan
almanak tak lagi berarti, menguap bersama embun perjalanan sunyi
bersahabat dengan kata membuatku bisu
melebihkan tiap sajak, membiarkan kata bermain dalam hati hingga tenggorokan
keluar dan menjadi tanda kehidupan
aku manusia yang tak hanya ingin fasih dalam kata dan cinta
tapi mengudara karenanya.

Ambang Lara
Ibu, ketika musim berganti
aku ingin menemuimu yang tak sedih lagi
mengudarakan segala perih
menyingkirkan segala tangis lirih.
Ibu, biar sakit yang kau rasa pergi
sebagai penyambut cerahnya pagi
kita bersama bernyanyi tentang kebahagiaan hati.

Fokus UMSU, 2012
Waspada, 16 September 2012

Senin, 21 Januari 2013

PENANTIAN DI STASIUN KERETA API


Aku tertegun memandangimu yang melangkah pergi meninggalkanku sendiri di pinggir rel kereta api dan di depan gerbong kereta yang siap kau masuki dan membawamu pergi dari pekatnya kota Medan yang tiap saat selalu membumbung asap perih kehidupan berkisah tentang anak jalanan yang terlantar sulit mencari makan.

 Tentang kita yang terkadang harus merintih perih menahan luka batin yang tersemat tak bisa memudar begitu mudah, setelah kepergianmu malah akan semakin parah ketika aku harus hidup menahan kerinduan dan menelan segala penantian kepadamu.

‘’Hati-hati Mak, jaga kesehatan Mamak disana dan selalulah berbagi kabar ke Medan.’’
‘’Iya Nak, kamu juga jaga kesehatanmu. Tahun depan Mamak akan pulang dengan membawa banyak uang hasil dari merantau ke ibu kota.’’

Ah, entahlah. Mengapa mamak harus pergi ke ibu kota, yang aku tahu kejam dan tak me-miliki hati nurani untuk para pendatang. Atau ke negeri seberang, yang aku juga banyak mendengar cerita pembunuhan para tenaga kerja Indonesia atas sebab yang terkadang tak masuk akal. Tak terbayang olehku, wanita yang melahirkanku harus menahan sakit dari majikan yang kejam terutama penduduk ibu kota yang kaya dan mempunyai banyak uang. Yang dapat dengan mudah menyiksa, melukai, dan di meja hijau dapat membalikkan semua fakta yang terjadi sebenarnya. 

‘’Aku tahu mamak orang yang kuat, beliau pasti bisa melewati segala kerikil tajam yang terjadi disana.’’ Ucap batinku.

Kau melambaikan tangan dari balik jendela kereta api, dengan senyum yang menawan dan wajah penuh harapan perihal bahagia yang ditemuinya di ibu kota. Tapi tak hanya kejamnya ibu kota yang aku takutkan. Tapi sesekali kulirik gerbong kereta api yang sangat panjang. Tak tahu seaman apakah kereta api kelas paling murah ini, sedang mamak telah mendapat posisi di dalamnya. Kulihat ia masih tersenyum menawan walaupun kereta api telah berjalan sedikit demi sedikit meninggalkan tempat aku berdiri, stasiun kereta api ini seakan sunyi tak berpenghuni. 

Ada air bening yang menetes dari mataku, kepergiannya seakan deraan ke-sakitan yang menghujam jiwaku. Dari kecil aku tak pernah jauh dari dari wanita berbinar mata sayu itu. Apapun yang terjadi beliau selalu berada di sampingku. Meski sewaktu aku kecil begitu nakal dan tak dapat menahan emosi yang berkecamuk kasar.

‘’Anak tukang gorengan mau sekolah, punya biaya buat bayar SPP?’’ Ketus teman sekelasku yang kala itu mamak memang menjual gorengan untuk biaya sekolahku. 

Aku yang tak mampu menahan emosi, dengan kasar aku menjambak rambutnya hingga ia menangis tak karuan. Setelah peristiwa itu aku tak ingin bersekolah lagi, aku lebih memilih membantu mamak berjualan apapun yang terpenting halal dan kami dapat makan walau hanya sekali sehari. Mamak bilang aku harus melanjutkan sekolahku yang hanya tamat di sekolah dasar, dan mamak akan berusaha sekuat tenaga mencari biaya untuk sekolahku. 

Tapi aku bersikeras menolak. Aku tak ingin mamak dihina lagi, aku juga tak ingin melukai anak orang lagi hingga ia menangis lalu mengadu ke orang tuanya hingga mamak harus mendapatkan semacam emosi timbal balik dari orang yang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan anaknya yang telah menghinaku Hingga kini aku menyesal tak menuruti titahnya, aku lebih mementingkan egoku sendiri. Kini aku hanya dapat membantu mencari nafkah dari pekerjaanku yang tak tentu. Sebab itu yang menarik kuat mamak pergi merantau ke ibu kota. 

Kini gerbong kereta api yang ditumpangi mamak tak terlihat, aku lemah untuk pulang kerumah. Mendapati rumah yang kosong tanpa mamak yang terkadang tertawa lepas, namun bisa juga cerewet menasehatiku yang nakal dan sulit diatur. Aku duduk di bangku sepanjang pinggiran rel kereta api yang tak diduduki banyak orang. Sejam lebih aku duduk diantara puluhan pasang mata yang melewatiku. Ada yang menatapku sinis, tapi ada juga yang menatapku dengan penuh kesahajaan. Tapi tubuhku tak semakin membaik, kepalaku pusing dan langkahku semakin berat untuk beranjak pulang.

Tiba-tiba ada sosok wanita yang duduk tepat di sampingku. Melirikku sesekali dengan penuh tanda tanya.
‘’Sedang apa disini Nak, mau berangkat kemana? Atau sedang menunggu seseorang?.’’ Tanya wanita yang kutafsir seumuran dengan mamak.

Namun dapat kulihat dia orang yang berada, wajahnya seakan tanpa beban kehidupan. Penampilannya yang sederhana tapi siapa saja yang melihatnya dapat mengetahui secara jelas jika dia termasuk orang kaya.
‘’Sejam yang lalu saya mengantarkan mamak saya yang akan pergi ke ibu kota Bu. Tapi saat saya ingin pulang, tubuh saya mendadak lemas dan berat melangkah pulang Bu.’’ Jawab saya pada ibu berbinar mata sayu yang lama kelamaan kulihat mirip sekali dengan mamak..

‘’Mamak kamu hendak ke Jakarta? Bekerja? Atau ada yang ingin dicari.’’
‘’Ingin bekerja Bu, meningkatkan kualitas keuangan keluarga kami yang dari dulu diambang kesulitan.’’
‘’Tepat sekali kalau mencari pekerjaan, saya tinggal di Jakarta. Saya berkunjung ke Medan ini untuk menemui salah satu teman, dan di Jakarta saya memiliki usaha kecil-kecilan. Jika mau mamak kamu bisa bekerja ditempat saya.’’ Tutur ibu itu ramah.

Ternyata ibu baik tersebut tinggal di Jakarta, fikiranku sedikit salah, tidak semua penduduk ibu kota kejam terutama orang kaya. Salah satunya ibu baik yang bersedia menerima mamak bekerja di usahanya sendiri.
‘’Terima kasih sekali Bu, saya juga sangat khawatir sedari tadi mengenai nasib dan pekerjaan yang tak jelas ditemui mamak saya sesampainya di Jakarta.’’ Jawabku dengan perasaan yang luar biasa bahagia.

Aku hanya akan memberikan foto mamak untuk dapat dikenali oleh ibu baik ini, lalu menghubungi mamak dan memberitahu tentang pekerjaan yang bisa dilakoninya di ibu kota. Tanpa harus bersusah payah menjadi pembantu rumah tangga atau menghadapi jalanan ibu kota yang lebih kejam dari ibu tiri, katanya.

‘’Baiklah, kalau begitu Ibu pamit ya. Hubungi Ibu di kartu nama ini.’’ Sembari memberi kartu nama miliknya, ibu tersebut itu pun pergi meninggalkan aku yang telah semangat kembali. Sebab harapan mamak mendapatkan pekerjaan di ibu kota akan segera tercapai. Dan aku tak perlu mengkhawatirkan kesusahan mamak karena ada wanita baik yang akan menjaminnya disana.

Saat aku akan pulang tiba-tiba ada dua orang pemuda yang duduk di sampingku berkelang satu bangku.
‘’Kasihan kali ya, gerbong kereta api yang keberangkatan sejam lalu. Gerbongnya anjlok dan kabarnya tidak ada penumpang yang selamat.’’ Cerita salah satu pemuda pada temannya.

Aku yang tersadar bahwa kereta api yang membawa mamak ke ibu kota berangkat sejam yang lalu langsung terbesit untuk mendengarkan lanjutan pembicaraan mereka.

‘’Yang benar kau? Kenapa pula bisa anjlok?’’ Tanya temannya pada si pemuda.
‘’Kau macam tak tahu saja, itukan kereta api kelas paling murah. Fasilitasnya tak memadai, kalau dugaanku kereta itu anjlok karena sudah tak layak dibawa perjalanan, maklumlah kau kereta api paling murah pulanya. Kau lihat gerbong kereta api yang disana itu? Seperti itu kereta api yang anjlok tadi.’’ Pemuda itu menunjukkan jenis kereta api yang sama ditumpangi mamak sejam yang lalu pada temannya.

Seakan aku tak percaya, kudekati gerbong kereta api itu. Kupandangi dengan seksama. Jenis gerbong kereta api yang sama saat aku melihat senyum mamak sebelum beliau pergi. Aku kembali lemah dan tak mampu menahan tubuhku, kartu nama wanita baik itu terbang entah kemana. Yang kuinginkan saat ini dan seterusnya adalah menanti mamak yang kuharap kembali ke stasiun kereta api ini. Dan senyum yang menawan itu, bukanlah senyum terakhir yang kulihat dari wajahnya.

Fokus UMSU, 2012
Terbit di Harian Waspada, 23 September 2012