Sabtu, 30 Maret 2013

Kedukaan Ibu


Aku lelah. Ketika tubuh enggan bersemangat memacu degup jantung. Seakan ada yang membatasi dalam sekat-sekat pengharapan hidupku. Mencoba memahami tiap beban yang menimpa tetubuh yang semakin lemah tak berdaya. Aku menahan dera yang mengganas dalam penghidupan. Menjaga ibu menguasai segala pikirannya. Agar tak jadi mengambang dan mengawan tak tentu arah. Seolah ruas yang menjadi penghalang ketika aku harus merangkai aktifitas menjadi tahapan peraduanku menuju masa depan. Namun bukanlah suatu sengketa yang harus aku perdebatkan dengan Tuhan saat penjagaanku dan beban yang ditumpahkan padaku harus diadukan menjadi sub-sub judul yang memperparah keadaannku saat ini. Segala riwayat beban harus kulakoni meski dengan terjalnya jalan mengalungkan ibu dengan cinta kasih yang juga pernah beliau berikan padaku. Rasa hormatku melunturkan kesakitan dan segala lelah yang tumbuh lalu layu saat kembali teringat sayangnya ibu padaku.
“Ibu bukanlah beban kehidupan yang harus diratapi, beliau adalah cinta yang Tuhan titipkan. Maka aku harus menjaganya tanpa harus menganggap semua ini adalah risalah siksaan.’’
Ibu, kini sering kali melamun. Tak mau makan dan sering bertindak aneh. Semenjak kecelakaan yang menimpa ayah empat bulan lalu, beliau seperti kehilangan setengah dari jiwa sadarnya. Kecelakaan tragis itu menggiring kepergian ayah kala itu. Kematian menjenguk ayah saat ia akan berangkat mengantar surat ke kantor pos untuk adiknya yang tak lain adalah pamanku yang berada di Jawa. Setiap bulannya, aku tak pernah alpa mengantarkan surat itu ke kantor pos. Namun kali ini, entah mengapa ayah ingin sekali mengantar surat itu sendiri ke kantor pos.
“Waris, hari ini biar ayah yang mengantar surat ini ke kantor pos ya. Kamu di rumah saja menjaga ibu.” Ucap ayah sesekali membenahi kemejanya.
“Kenapa ayah yang mengantarnya? Biasanya toh Waris yang mengantarkannya.”
“Tak apa, ayah hanya ingin sesekali keluar rumah. Tidak apa-apa, kan?”
“Baiklah kalau itu kehendak ayah, Waris hanya bisa menuruti. Ayah hati-hati saja di jalan.” Ingatku pada ayah yang akan hendak melangkah keluar.
Tak lupa ia pamit pada ibu. Kedua orang tuaku jarang sekali bertengkar. Mereka sangat rukun. Namun sayang mereka hanya dianugrahi satu anak yaitu aku. Aku bahagia memiliki mereka, meski hanya bertiga, keadaan rumah sering ramai dengan candaan kami.
Berbeda dengan sekarang, kematian yang menjenguk ayah mengajaknya ke tempat muasal kematian itu ada. Sontak, kejadian ini membuat ibu lupa diri. Ibu tak bisa menerima musibah ini. Beliau sering tertawa sendiri, tatapannya kosong dan tak jarang mengais sendu pada pelupuk matanya.
Aku galau tak berkesudahan. Ibu sulit dikendalikan. Aku tak pernah membiarkan ibu keluar dari rumah. Selain khawatir atas keadaan luar yang bisa kapan saja menimpa ibu. Beliau juga menimbulkan kekhawatiran bagi tetangga-tetangga di sekitar rumahku. Pernah, saat ibu duduk di beranda rumah. Anak-anak mendatanginya. Menatapnya dengan pandangan sinis dan ocehan yang sangat mengganggu ibu saat itu. Penampilan ibu yang tak karuan membuat mereka aneh dan malah semakin mendekati dan mengganggu ibu. Bukannya aku tak mengurusinya, aku sudah memandikannya, menyisir rambutnya, memberinya makan, bahkan merapikan segala hajatnya. Tapi semua percuma, namun sungguh aku tak pernah lelah melakukannya.
“Orang gila… Orang gila…” teriak anak-anak itu beramai-ramai, mengusiknya dan seketika ibu merasa terancam.
Ibu berteriak sekerasnya, mengejar semua anak-anak itu hingga mereka berhamburan bagai pepasir yang tertiup angin. Luntang lantung mereka melindungi diri dan masuk ke rumah masing-masing. Anak-anak yang masih berlari dikejar ibu sambil melempari mereka dengan batu-batu kecil yang terjangkau olehnya.
Di hari lain, tanpa sepengetahuanku ibu keluar rumah dan berjalan mengelilingi perumahan tempat tinggalku. Saat itu aku sedang memperbaiki barang-barang elektronik yang rusak dan melimpah di dalam kamarku, itulah pekerjaanku Aku sudah memberi ibu makan siang dan membiarkannya di kamar setelah beliau mengusirku pergi dari kamarnya. Namun kali ini penjagaanku lemah. Ibu dianggap mengganggu ketenangan masyarakat. Dari pengakuan mereka, beliau mengusik anak-anak mereka saat bermain di taman. Padahal sepengetahuanku, ibu hanya terbiasa diam di rumah. Ibu tak akan mengusik bila tidak merasa terancam.
Derap langkah kaki seakan menyerang datang ke rumahku. Berisik dan terusik segala isi rumah ini. Segerombolan masyarakat mendatangi rumahku. Hawanya terasa sangat panas. Mereka marah-marah tak terkendali. Menghujat ibuku dan mencoba mengusirnya dari tempat tinggalku.
“Hei, bawa ibumu pergi dari sini! Ia membuat kami tidak tenang. Ia menakut-nakuti dan mengusik anak-anak dan mengganggu ketenangan warga! Bawa ibumu jauh-jauh dari sini!!” bentak salah satu warga dengan amuk kemarahan serupa bara yang merah.
Aku keluar dari rumah, ledakan suara mereka semakin kasar.
“Pergi dari sini, jangan kembali lagi! Enyah dari hadapan kami!” teriakan-teiakan itu penuh di telinga dan pikiranku.
“Ah, apa lagi ini Tuhan. Cobaan apa lagi yang mendarat ke beranda rumahku saat ini.” Ucap batinku disertai gemeletar tubuh yang melemah. Bingung yang mendera seakan sulit melawan puluhan orang yang kini menghujat aku dan ibu untuk pergi meninggalkan rumah peninggalan ayah ini. Wajah memelasku semakin membuat mereka marah tak karuan. Dentuman kerusuhan semakin tergambar jelas di depan mataku. Sepatah bahkan sebait katapun tiada mampu merangkap ke telinga mereka.
“Ibumu itu sudah gila, bawa saja ia ke rumah sakit jiwa atau pasung dalam rumah.  Jangan sekalipun izinkan ia keluar dari rumah, jika kau tak mau ada korban karena ibumu yang sudah tidak waras itu.” Hujat ibu berbadan gempal kepadaku sambil mengarahkan telunjuknya ke arahku. Yang lain mengiyakan ucapannya. Prahara semakin menjadi, aku tak diberikan waktu sedikitpun untuk bicara. Aku seakan siap mati dikeroyoki segala hinaan hingga tubuhku lebam kebiruan.
Tapi aku harus membela diri, tak bisa kubiarkan mereka terus menghujat ibuku. Mereka tak bisa main hakim sendiri dengan mengusir aku dan ibu seenak jidat mereka.
“Tenang semua!! Baiklah, bila kalian ingin aku dan ibuku pergi, maka kami akan pergi. Tapi aku tidak akan membiarkan ibuku masuk ke rumah sakit jiwa apalagi memasungnya. Kami akan pindah sesuai kehendak kalian. Tapi aku mohon jangan sesekali kalian sentuh rumah peninggalan dari almarhum ayahku ini. Aku dan ibuku akan pindah tapi rumah kami tetap disini. Sekarang kalian boleh pergi dan berhenti membuat kerusuhan di depan rumahku. Bukankah dengan begini kalian sama saja seperti orang gila yang mengganggu ketenangan orang lain. Maka seharusnya yang harus dibawa ke rumah sakit jiwa ataupun dipasung adalah kalian semua!.”
Yah, kali ini aku yang bicara hampir seperti orang gila. Membuat mereka ketakutan dan pergi dari rumahku dengan ocehan-ocehan yang menghujat dan mengiringi langkah mereka kembali entah kemana mereka mau kembali. Rumahku kembali sepi. Ibu ketakutan di sudut kamar ketika aku masuk. Pastinya karena kerusuhan yang baru saja terjadi membuatnya ketakutan dan merasa terancam. Wajahnya cemas, bergetar disertai tangisan yang tumpah membasahi wajahnya. Ah, beliau memeluk foto alhamarhum ayah. Sudah kuduga, ibu tidak gila. Ia masih ingat ayah dan cara memeluk lelaki kecintaannya itu penuh dengan ketulusan dan kasih sayang.
“Tenang ya bu, semua akan baik-baik saja. Waris akan menjaga ibu, tapi kita harus segera pindah dari sini. Ke tempat yang lebih membuat ibu tenang. Di sini tidak baik untukmu bu.” Ucapku lembut menenangkan ibu sembari mengangkatnya kembali ke dipan agar beristirahat setelah mendengar segala hujatan yang membuatnya lelah. Ibu menatap wajahku. Tergambar jelas dari matanya bahwa beliau masih sangat menyayangiku.
Embun yang jatuh dari hijaunya dedaunan dan membasahi tanah desa ini membuat ibu jauh lebih tenang. Desa ini jauh dari hingar bingar penduduk kota yang garang dan kasar. Pun terasing dari suara riuh kendaraan yang begitu mengganggu. Aku juga dapat dengan tenang melanjutkan pekerjaanku sebagai servis barang elektronik. Meskipun tidak begitu besar upahnya, namun mampu mencukupi kebutuhan aku dan ibu. Warga di desa ini juga sangat ramah, mereka mengerti keadaan kami. Bila tidak mengganggu maka tak akan ada yang merasa terganggu.
Sebulan atau dua bulan sekali aku dan ibu tetap mengunjungi rumah peninggalan almarhum ayah. Tempat dimana ibu pernah dihujat tapi juga tempat bergumulnya kenangan-kenangan yang seringkali menumbuhkan tangis atas nama kerinduan kenangan itu. Sekedar membersihkan isi rumah sekaligus memantau keadaan rumah agar tetap utuh tanpa seorangpun yang berani mengusiknya. Ibu terlihat sangat bahagia bila kuajak ke rumah kami di kota. Beliau tersenyum sendiri bila duduk di ruang keluarga. Sambil memandangi foto almarhum ayah yang masih sangat tampan. Namun, kegiatanku membersihkan dedebu rumah peninggalan ayah sering terhenti sebab terkejut mendapati ibu yang menangis dan menjerit secara tiba-tiba.

Fokus UMSU, November 2012
Terbit di Analisa-Rabu, 13 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar