Senin, 13 Mei 2013

Keindahan Genre dalam Angkatan Sastra Sumut


 Oleh: Hesti Sartika

Karya sastra merupakan sebuah hasil dari kreativitas, imajinasi dan simbol-simbol yang di dalamnya berguna untuk memperindah bahasa yang menjadi medium dalam sebuh karya sastra. Sapardi Djoko Damono memaparkan bahwa sastra itu adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.

Pengklasifikasian terhadap sebuah angkatan sastra di Indonesia tak lepas dari segala unsur bentuk, pola dan hal-hal yang sering tertera dari sebuah karya sastra. Meliputi jenis sastranya (genre), pikiran, perasaan, gaya bahasa, gaya penceritaan, dan struktur karya sastra. Penulisan sejarah dalam pencitraan sastra yaitu teori estetika persepsi. Penyusunan sejarah sastra berdasarkan teori estetika resepsi dipusatkan kepada pembaca karya sastra sebagai penyambut sastra. Hans Robert Jauss menulis sejarah sastra merupakan sebuah proses resepsi dan produksi estetik yang terjadi dalam pelaksanaan teks-teks sastra yang dilakukan terus-menerus oleh pembaca, kritikus dan penulis dalam kreativitas sastra.

Sesuai dengan angkatan dalam perkembangan kepenulisan sastra ialah; periode Balai Pustaka: 1920-1940, periode Pujangga Baru: 193-1945, periode Angkatan 45: 1940-1955, periode Angkatan 5: 1950-1970, dan periode Angkatan 70: 1965-sekarang (1984). Menurut pola struktural sastra dalam tiap periode ataupun angkatan. Terdapat berbagai perbedaan dan genre yang akan kita temui cukup tematik dalam tiap angkatannya.

Lahirnya sastra Indonesia sendiri pada tahun sekitar 1920 menurut A. Teeuw, terdapat dalam karangannya “Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru”, namun tidak secara tegas menyebutkan awal mula kelahiran kesusastraan Indonesia Baru. Ia hanya memaparkan bahwa pada tahun 1920-an merupakan masa kecil kesusastraan Indonesia modern. Melihat angka tahun yang diungkapkan oleh Teeuw, tentu saja hal tersebut merujuk pada Balai Pustaka dan roman yang pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka yaitu Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar.

Di Sumatera Utara sendiri, banyak sastrawan senior dan sastrawan muda yang saat ini sedang genjar-genjarnya juga mengembangkan karya sastra agar tetap bertahan di Indonesia. Partisipasi mereka yang tak hentinya terus berkarya melalui media cetak, elektronik serta menanamkan sejarah sastra melalui lakonisasi drama, musikalisasi puisi, dan pembaca puisi yang full ekpresi dari sastrawan-sastrawan Medan yang berbakat.

Sastrawan-sastrawan Sumatera Utara antara lain; A. Rahim Qahhar, AS. Atmadi, A. Zaini Nasution, D. Rifai Harahap, Ezra Dalimunthe, Hidayat Banjar, Idris Siregar, Maulana Syamsuri, Mihar Harahap, Moratua Naibaho, M. Raudah Jambak, Hasan Al Bana, Yulhasni, M. Yunus Rangkuti, Jones Gultom, Rasinta Tarigan, Ridwan Siregar, S. Satya Darma, Suyadi San, Syaiful Hadi JL, Teja Purnama, YS. Rat, Harta Pinem, Damiri Mahmud, D. Ilyas Rawi, Idris Pasaribu, Shafwan Hadi Umry, Afrion, Antilan Purba, Jerni Martina Elita Napitupulu, Rosliani, Aishah Basar, Aldian Aripin, Sulaiman Sambas, Thompson HS dan Supri Harahap,

Selain itu penulis-penulis muda Sumatera Utara yang telah menjenguk karya-karyanya di media-media lokal ataupun nasional dan telah menyejarahkan sastra lewat buku-buku antologi dan buku-buku tunggal yang tidak dapat disepelekan kualitasnya, yaitu; Sartika Sari, Maulana Satrya Sinaga, Muhammad Anhar, Sakinah Anisa Mariz, Tanita Liazna, Cipta Arif Wibawa, Ria Ristiana Dewi, Eva Riyanti Lubis dan banyak lagi yang menorehkan tinta mimpi dalam karya-karya sastra.

Dalam pencitraan sastra dalam sastra, pembandingan menjadi hal yang bukan lagi tabu. Salah satu contoh puisi sastrawan senior Sumatera Utara yakni Yulhasni dengan judul “Cinta Sirombu”; secepat itukah engkau berlalu, manisku/kau telah berangkat sebelum aku sempat membuka pintu/ketabahan daun-daun gugur yang kau titipkan itu/bersama anak kita di sirombu, kampung cinta yang telah jadi debu/ (Amuk Gelombang, 2005). Juga puisi Sartika Sari dengan judul “Elegi Titi Gantung”; demi matahari yang tak pernah padam di tubuhku/langit adalah ibu paling baik/yang menyusui dan menjagaku dari sunyi/ (PPN IX Jambi). Kedua penulis di atas menulis puisi dengan begitu simbol yang apik. Sehingga menimbulkan perasaan tersendiri ketika membaca puisi-puisi keduanya. Mereka juga handal menulis berbagai artikel dan essai dalam tajuk budaya dan sastra.

Oleh karena itu, tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan sastra dalam sejarah, dari tahun ke tahun, angkatan ke angkatan memiliki keindahan tersendiri dan segala variatif yang dapat mengembangkan sastra untuk masa depan. Tidak akan menghilang, sebab sastra akan terus dipertahankan bersama.

Penulis Mahasiswa Semester IV Bahasa Indonesia FKIP UMSU dan Bergiat di Komunitas Diskusi Sastra FOKUS UMSU.

Terbit di Harian Waspada-Rubrik Budaya, 12 Mei 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar