Membaca Gerakan Sastra Sumatera Merdeka
Hegemoni dan Dominasi
Oleh: Hesti Sartika
Hegemoni dalam bahasa Yunani diartikan sebagai bentuk kekuasaan terpusat dengan cara mengendalikan daerah-daerah di bawah kekuasaannya suatu negara. Secara politik dimaksudkan untuk mencapai maksud-maksud tertentu dengan persepsi memaksakan kehendak hingga tercapainya tujuan.
Dalam hubungan ketatanegaraan, hegemoni bisa berarti suatu sistim kekuasaan yang terpusat atau kepemimpinan terpusat yang memiliki kekuasaan untuk menentukan kebijakan bawahannya.
Secara umum, hegemoni merupakan suatu dominasi kekuasaan terhadap kehidupan sosial masyarakat kelas bawah. Melalui kepemimpinan intelektual dan moral yang dibantu dengan penindasan atau kekerasan. Bisa juga didefinisikan sebagai dominasi oleh satu kelompok tertentu terhadap kelompok yang lain, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominasi terhadap kelompok yang didominasi atau dikuasai, diterima sebagai sesuatu yang wajar dan tidak mengekang pikiran.
Seiring dengan perkembangan teknologi, dominan budaya, politik dan ekonomi bisa menguasai dari satuan yang besar hingga satuan yang kecil. Satuan besar yaitu negara, satuan kecil hingga perorangan. Perlu disadari hegemoni sekarang bisa dipahami sebagai dominansi dari budaya negara maju terhadap negara berkembang. Jadi hegemoni tidak semata-mata dalam bentuk penindasan/penguasaan secara fisik, tetapi bisa penguasaan secara wacana. Hegemoni wacana inilah yang berbahaya, karena manusia tidak sadar bahwa dia telah dihegemoni.
Sebaliknya, Dalam Black’s Law Dictionary, dominasi (dominate) diartikan sebagai to master (someone or something) or to control (someone or something))(Bryan A Garner : 502). Yaitu suatu keadaan tertentu yang dikuasai oleh orang tertentu. Seseorang menguasai seseorang atau suatu.faham politik yang menguasai suatu daerah dengan melakukan penaklukan. Dalam hal ini bisa terjadi melalui eksploitasi terhadap ideologi dan kebudayaan dengan maksud agar mendapatkan keuntungan.
Mengkritisi sistem pemerintahan dalam strata kehidupan sosial masyarakat, baik dalam dunia kesusasteraan dan pengembangan seni budaya lainnya di Sumatera Utara, hegemoni dan dominasi pusat (baca; Jakarta) telah sampai pada sisi yang cukup mengkuatirkan. Sebagaimana disebut Yulhasni dan Afrion dalam tulisan-tulisannya di Rebana Analisa.
Mengamati fenomena yang terjadi di Sumatera Utara (Medan), ada hal-hal yang menarik untuk perbincangkan. Salah satunya muncul gerakan Sastra Sumatera Merdeka yang sedang rame-ramenya dibicarakan para sastrawan, baik dalam diskusi di Taman Budaya secara face to face, personal dan kelompok, maupun di media-media massa.
Sebagai mahasiswa pembelajar sastra, saya merasa gerakan Sastra Sumatera Merdeka perlu disikapi dengan pemikiran yang jernih, hati-hati dan kesadaran untuk tidak terjebak kepada keretakan hubungan dengan sesama sastrawan, baik yang ada didaerah maupun di pusat (Jakarta) yang secara politik sebagai ibukota Negara. Pemerintahan.dalam hal ini diharapkan juga bersikap toleran dengan memperhatikan suatu keadaan dan kemampuan masyarakat di daerahnya.
Sebagaimana yang dikemukan Yulhasni pada tulisannya di Rebana Analisa Minggu, 9 Desember 2012, perihal memerdekakan diri dari rasa curiga. Menurut saya apakah diperlukan rasa curiga dalam menyikapi munculnya gerakan memerdekakan diri dari hegemoni Jakarta? Hegemoni estetika karya dalam pengembangan kesusasteraan dengan cara mengontrol atau mempengaruhi pemikiran estetika karya sastrawan daerah, tentu sangatlah tidak diharapkan.
Gerakan Sastra Sumatera Merdeka sebagai satu bentuk kesadaran kolektif maupun individu tentunya diletakkan sebagai keinginan untuk keluar dari gejala ‘penindasan’ sistematis atasnama apapun. Berfikir untuk memerdeka diri pada akhirnya memang tidak perlu dicuragai, demi mewujudkan pencapaian estetika karya sastra Sumatera Utara dihargai oleh penerbit Jakarta.
Dominasi pusat (baca; Jakarta) sebagaimana disebut Afrion telah mempengaruhi estetika karya sastra di Sumatera Utara. Gugatan terhadap sisitim dominasi ini misalnya disebut Afrion dengan memonopoli pemasaran buku-buku pelajaran sejarah sastra di sekolah maupun perguruan tinggi dengan mengabaikan perkembangan sejarah kesusasteraan yang mucul di daerah.
Dengan demikian sudah semestinya kehadiran Sastra Sumatera Merdeka yang mengkritisi hegemoni dan dominasi sejarah kesusatraan Indonesia oleh Jakarta dengan mengabaikan apa yang terjadi di daerah, perlu didukung oleh semua pihak.
Dalam bidang penerbitan buku-buku disebut Idris Pasaribu penerbit Jakarta telah mematikan penerbit di daerah. Pertjetakan Tapanoeli di Jalan Mesjid Medan salah satu percetakan yang melahirkan banyak karya sastra kini tutup. Ada penerbit dan percetakan Bin Harun di jalan Perdana, Firma Hasmar di jalan Serdang dan CV Madju di jalan Amaliun yang kini telah bangkrut dan tutup karena buku-bukunya tidak menjadi rujukan oleh pemerintah pusat karena telah digantikan oleh buku-buku terbitan Jakarta.
Dengan demikian dapat dimaklumi bahwa maksud dan tujuan gerakan Sastra Sumatera Merdeka agar terbentuk kesadaran kolektif masyarakat terhadap sistem monopoli pemasaran dan penerbitan buku di Jakarta yang menghancurkan penerbit buku di daerah. Khususnya di dunia pendidikan dan perguruan tinggi yang sekarang menggunakan buku terbitan Jakarta.
Seperti yang diungkapkan Afrion dalam tulisannya di Rebana Analisa Minggu, 9 Desember 2012. Gerakan Sastra Sumatera Merdeka mestinya diartikan sebagai spirit menumbuhkan kebersamaan sebagai suatu gerakan membendung monopoli penerbit buku Jakarta memasuki wilayah pangsa pasar daerah. Apalagi cenderung menguasai pemakaian buku pelajaran di sekolah dan perguruan tinggi.
Usaha membendung monopoli penerbitan buku Jakarta memasuki wilayah pasar daerah agar tak semakin meluas. Sehingga penerbit-penerbit buku daerah dapat hidup kembali sesuai alur dan porsi yang telah ditetapkan oleh masing-masing daerah. Sehingga tidak ada lagi dominasi penerbit Jakarta menguasai pemasaran buku di daerah.
Akibat lain yang muncul dari beredarnya buku-buku terbitan Jakarta, nyatanya dampak pula dengan penggunaan bahasa oleh masyarakat di daerah. Kita menemukan banyak penggunaan bahasa Jakarta (Betawi) dikalangan anak-anak muda seperti “banget, sih, dong, gue, lo,” dan lain sebagainya.
*Penulis adalah mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia UMSU dan bergiat di Komunitas Diskusi Sastra FOKUS UMSU dan Laboraturim Sastra Medan.
Terbit di Harian Analisa Minggu-Rebana, 30 Desember 2012.